Analisis Mengenai Sejarah Suku Melayu Di Kabupaten Sambas (Suku Sambas)
Oleh: wilfie, 211200005,
Suku Sambas (Melayu Sambas) adalah suku bangsa atau etnoreligius Muslim yang
berbudaya melayu, berbahasa Melayu dan menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Pontianak- Kalimantan Barat. Suku Melayu Sambas terkadang juga disebut Suku Sambas,
tetapi penamaan tersebut jarang digunakan oleh masyarakat setempat.
Secara
liguistik Suku Sambas merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak Melayik yang dituturkan oleh 3 suku
Dayak : Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa
Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku
berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Kutai,
Tidung dan Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito
Raya).
Pada
awalnya Sambas bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama
Kerajaan yang berada tepat di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil,
sungai Subah dan sungai Teberau yang lebih dikenal dengan Muara Ulakan. Seluruh
masyarakat asli Kalimantan sendiri sebenarnya adalah Serumpun, Antara Ngaju,
Maanyan, Iban, Kenyah, Kayatn, Kutai ( Lawangan - Tonyoi - Benuaq ), Banjar (
Ngaju, Iban , maanyan, dll ), Tidung, Paser, dan lainnya. Hanya saja
Permasalahan Politik Penguasa dan Agama menjadi jurang pemisah antara keluarga
besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan
adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi
Masyarakat Melayu Muda. Khususnya dalam Islam maupun Nasrani, hal - hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran
akan ditinggalkan. Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut
dengan Dayak. Adat-istiadat lama Suku Melayu Sambas banyak kesamaan dengan
adat-istiadat Suku Dayak rumpun Melayik misalnya; tumpang 1000, tepung tawar,
dan lainnya yang bernuansa Hindu.
Secara
administratif, Suku Sambas merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun
2000 dan merupakan 12% dari penduduk Kalimantan Barat, sebelumnya suku Sambas tergabung ke dalam suku Melayu pada
sensus 1930. Sehubungan dengan hal tersebut kemungkinan "Dialek Melayu
Sambas" meningkat statusnya dari sebuah dialek menjadi bahasa kesukuan
yaitu Bahasa Suku Sambas. Perubahan
Suku Sambas secara drastis setelah masuk Islam, hampir menghapus jejak asal
muasalnya yaitu Suku asli yang mendiami pulau Kalimantan. Kebudayaan Melayu
yang dianggap lebih "beradab", membantu menghilangkan budaya Dayak
pada Suku Sambas dengan cepat. Sehingga Sambas yang dahulunya beragama Hindu
Kaharingan kehilangan jejak Kaharingan, walaupun sebagian kecil ada yang
tersisa. Akibatnya orang lebih yakin Sambas adalah Melayu, padahal tidaklah
demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan
dengan agama) jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.
Sulitnya
data semakin mempersulit para peneliti untuk mencari jejak asal muasal Suku
Sambas. Membuat hasil penelitian terlihat ambigu bahkan samar. Peneliti
seringkali mengklasifikasikan berdasarkan bahasa, sedangkan menurut orang Kutai
dan Tunjung-Benuaq mengenal tradisi lisan yang mengklasifikasikan golongan
berdasarkan budaya dan sejarah budayanya serta geneologi. Oleh karena itulah
Suku Sambas diklasifikasikan ke dalam suku Dayak berbudaya Melayu.
Namun, berdasarkan kajian
dengan pendekatan sejarah, asal usul masyarakat yang sekarang disebut Melayu
Sambas adalah hasil asimilasi beberapa suku bangsa di Nusantara yaitu yang
sekarang disebut Melayu Sambas adalah asimilasi dari Orang Melayu (yang datang
dari Sumatera sekitar abad ke-5 M hingga 9 M pada masa Kerajaan Malayu atau
masa awal Kerajaan Sriwijaya), Orang Dayak (penduduk lebih awal yang secara
turun temurun sebelumnya telah mendiami Sungai Sambas dan percabangannya),
Orang Jawa (yaitu serombongan besar Bangsawan Majapahit keturunan
Wikramawardhana bersama para pengukutnya yang melarikan diri secara boyongan
dari Majapahit karena perang sesama Bangsawan di Majapahit pada awal abad ke-15
M yang kemudian mendirikan sebuah Panembahan di wilayah Sungai Sambas) serta
Orang Bugis (para Nakhoda dan pembuat kapal bersama keluarganya dari Sulawesi
yang kemudian membentuk sebuah perkampungan Bugis yang bekerja untuk
Sultan-Sultan Sambas di masa awal dan pertengahan Kesultanan Sambas).
Masyarakat
Melayu Sambas secara Budaya dan Intelektual adalah yang terkemuka di Kalimantan
Barat, beberapa budaya Melayu Sambas yang masih populer di kalangan Masyarakat
Kalimantan Barat dari dulu (masa Kerajaan) hingga sekarang diantaranya adalah
Kain Khas yaitu yang disebut Kain Sambas / Kaing Lunggi / Kain Songket Sambas,
Makanan Khas yang disebut Bubbor Paddas / Bubur Pedas (dengan khas menggunakan
daun Kesum / daun Kesuma), Lagu-Lagu Daerah Sambas (dari masa lampau /
Kerajaan) sangat mendominasi khazanah lagu-lagu daerah di Kalbar hingga sekarang
disamping Lagu-lagu daerah Dayak dan banyak lagu-lagu daearah Sambas itu adalah
berstatus anonim yang tidak diketahui siapa pembuatnya karena sudah begitu lama
yang dilantunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi seperti Lagu
Alok Galing, Cik cik Periuk, Kapal Belon dan lainnya, Tarian Daerah Khas Sambas
seperti Tandak Sambas, Jepin dan lainnya.
Pada
masa Kerajaan (Kesultanan Sambas) masyarakat Melayu Sambas juga terkenal sangat
Agamis (Islam) yang paling terkemuka di Kalimantan Barat sehingga sempat
disebut sebagai "Serambi Makkah" Kalimantan Barat. Pada masa
Kerajaan, Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas sangat terkemuka dibanding
Kerajan-Kerajaan lainnya di Kalimantan Barat ini, bahkan Ulama-Ulama Islam dari
Kesultanan Sambas telah ada yang berkaliber Internasional misalnya pada abad
ke-19 M ada Ulama Kesultanan Sambas yang bernama Shekh Khatib Achmad As Sambasi
yang menjadi Ulama di Makkah Al Mukarramah dan menjadi Pemimpin Ulama-Ulama
Nusantara yang menuntut Ilmu Agama di Makkah dengan gelar Shekh Sharif Kamil
Mukammil. Kemudian pada abad ke-20 M ada Ulama Kesultanan Sambas bernama Shekh
Muhammad Basuni Imran (Mufti Kesultanan Sambas) yang adalah lulusan Al Azhar
kairo, Mesir yang terkenal di Timur Tengah karena suratnya kepada Mufti Mesir yang
berjudul "Mengapa Umat Islam saat ini Mengalami Kemunduran". Jejak
kejayaan Islam di Sambas itu yang masih nampak pada sekitar tahun 80-an dimana
Qori-qori dari Sambas cukup mendominasi dalam mewakili Kalimantan Barat di
tingkat Nasional dan Internasional.
Sedangkan
di masa Kerajaan, Kesultanan Sambas adalah sebuah Kerajaan Maritim (Pesisir)
yang sempat menjadi Kerajaan terbesar di wilayah Borneo Barat (Kalimantan
Barat) selama sekitar 100 tahun (dari awal tahun 1700-an hingga awal tahun
1800-an). Urutan Kerajaan-Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat dari awal
adalah Kerajaan Tanjung Pura yang setelah runtuh dilanjutkan oleh Kesultanan
Sukadana, lalu ketika Kesultanan Sukadana melemah posisi Kerajaan terbesar di
Kalimantan Barat itu beralih dipegang oleh Kesultanan Sambas yang kemudian
setelah masuknya Belanda ke wilayah Kalimantan Barat pada tahun 1818 posisi
Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat beralih dipegang oleh Kesultanan
Pontianak. Kesultanan Sambas berdiri pada tahun 1671 M yang kemudian memerintah
selama sekitar 279 tahun melalui Pemerintahan 15 Sultan-Sultan Sambas dan 2
Ketua Majelis Kesultanan Sambas secara turun temurun hingga kemudian
berakhirnya Pemerintahan Kesultanan Sambas dengan bergabung ke dalam Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950.
Kabupaten Sambas terkenal dengan sebuah peninggalan sejarah yaitu sebuah
keraton peninggalan Kesultanan
Sambas. Penduduknya mayoritas
melayu, dan berbahasa melayu. Sebagian besar bahasa yang digunakan adalah sama.
Bahasa Melayu sangat mudah dipahami, apalagi bagi orang yang mendengar orang
Betawi berbicara, karena kurang lebih bahasa Betawi dan Melayu sama, misalnya: Seseorang berbicara,
"Kamu mau ke mana?", jika dalam bahasa melayu "Kau nak ke
mane", (penyebutan "e" dalam bahasa melayu, sedangkan bahasa
suku Sambas membunyikan "e" seperti bunyi pada kata "lele".
Keunikan lain dari bahasa Melayu Sambas adalah pengucapan huruf ganda seperti
dalam Bahasa [Melayu] Berau di Kalimantan Timur, seperti pada kata 'bassar' (artinya besar dalam bahasa indonesia).
~sumber: arsip daerah prov.kalbar dan kab. Sambas
~
Sumber: www.wikipedia.org/wiki /Suku_Sambas